BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap warga negara dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan aspek-aspek politik , baik secara langsung maupun tidak langsung. Kehidupan politik yang telah menjadi bagian dari keseharian warga negara dalam sebuah negara ini menimbulkan atau membentuk pendapat , pandangan dan pengetahuan tentang perilaku politik . Pandangan , pendapat, dan pengetahuan itu memunculkan orientasi seseorang terhadap kehidupan politik atau objek politik sehingga melahirkan budaya politik dalam sebuah Negara. Sebuah Negara memiliki sistem politik yang berbeda . Disamping itu, sebuah Negara pasti memiliki sebuah sistem pemerintahan , dan sistem pemerintahan yang dianut sesuai dengan keinginan dan kesepakan Negara tersebut.
Dalam sebuah kehidupan bernegara sebuah negara sangat memerlukan sistempemerintahan, agar mereka dapat tertuntun dan sebuah sisitem pemerintahan tersebut menjadi cara yang dianut ileh semua masyarakat dalam sebuah Negara. Sistem pemerintahan yang dianut dan paling sering digunakan adalah sistem pemerintahan demokrasi .
Proses penguatan hak rakyat dan penduduk negeri akhir akhir ini makin menguat seiring dengan meningkatnya tekonologi informasi dan kesadaran tentang hak inidividu untuk menyuarakan pendapatnya, dan hak untuk mengetahui yang sebenarnya. Hal ini hampir terjadi disemua negara kecuali negara-negara yang masih mempertahankan sistem diktator seperti Myanmar, Korea Utara, Kuba dsb. Jika dalam sebuah negara oposisi tidak diijinkan ada, maka dapat dipastikan negara tersebut menganut sistim diktator. Oleh karena itu, demokrasi banyak diminati oleh Negara-negara di dunia.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa pengertian dari Demokrasi ?
b. Bagaimana perkembangan Demokrasi di dunia ?
c. Apa yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis, demokrasi berasal dari dua kata , yaitu demos yang artinya rakyat dan cratein yang artinya memerintah. Jadi demokrasi berarti suatu negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat .
Demokrasi adalah bagaimana menghormati pendapat oranglain, mendengarkan mereka, tidak berperasangka tentang kemunafikan, jangan menghukum mereka atau memfitnah mereka secara tak semena-mena, meskipun ia seorang penghianat besar. Demorasi adalah bagaimana seseorang mengakui kemungkinan kesalahan atas diri sendiri.[1]
Demokrasi itu dimana otoritas Negara ada di tangan rakyat. Kedaulatan
Apa saja adalah milik rakyat. Tetapi mustahil semua rakyat menjadi pemimpin (presiden) dalam sebuah negara, maka dari itu mereka mengadakan pemilu, memilih wakil-wakil, kemudian para wakil memilih sejumlah orang yang dibayar untuk mengurusi segala yang diperlukan oleh rakyat dalm ketatanegaraan. Pengurus itu dijejer dari paling atas Namanya presiden selanjutnya sampai ke level yang terbawah sampai ajudan Pak RT.[2]
Dalam Demokrasi, presiden dan seluruh jajaran birokrat adalah PRT alias pembantu rumah tangga rakyat. Rakyat membayarnya, menyediakan kantor, rumah dinas, kendaraan, serta segala perlengkapan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah pihak yang dipilih, sementara rakyat adalah pihak yang memilih, yang memilih lebih tinggi derajatnya dan lebih berkuasa dari yang dipilih.[3]
B. Perkembangan Demokrasi di Dunia
Budaya demokrasi sesungguhnya sudah berkembang sejak zaman purba, yaitu pada zaman berburu. Banyangkan sekelompok laki-laki purba berkumpul dimalam hari mengelilingi api unggun sambil berdiskusi untuk memastikan apakah mereka akan berburu keesokan hariunya atau tidak. Mereka adalah pemburu berpengalaman di sukunya dan merasa sama-sama pantas untuk mengemukakan pandangannya masing-masing dan ingin didengarkan. Di sekeliling api unggun, para lelaki itu sedang mengambil bagian dari demokrasi.
Demokrasi sebagi proses melibatkan masyarakat dalam pemerintahan muncul dibeberapa kota di yunani kuno sekitar abad ke VI SM. Kemungkinan besar warga Athenalah yang mencetuskan kata demokratia(demokrasi), yang merupakan gabungan dari dua kata demos(rakyat), dan kratos(memerintah), unuk menggambarkan system pemerintahan mereka.
Ciri utama demokrasi yang dipraktekkan pada bangsa yunani kuno adalah adanya majlis, yaitu sebuah pertemuan rakyat yang teratur dimana para warga Negara terhormat bebas mengemukakan pendapat.majlis memilih 10 jendral untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kemiliteran. Namun majlis yang memerintah yang berjumlah 500 orang dengan para pegawai Negara lainnya dipilih dengan cara diundi. Dengan cara itu setiap warga memiliki kesempatan yang sama. Hak-hak warga Negara lainnya diakui untuk menjamin system berjalan sebagaimana diharapkan. Yang paling penting dari semuanya itu adalah adanya kebebasan berpendapat. Tanpa kebebasan berpendapat, tidak aka nada debat baik dalam majlis maupun boul[4].
Demokrasi yunani kuno bertahan hanya beberapa ratus tahun, dan akhirnya mati pada abad ke2 SM. Selama periode yang sama republic romawi juga berkembang pesat. Meski bukan sebuah demokrasi sebagaimana diterapkan di yunani kuno, republic ini memiliki cirri demokrasi. Pada awalnya hanya kaum aristrokat, yaitu orang-orang yang mewariskan kekuasaan selama turun temurun, yang duduk di pemerintahan. Setelah itu rakyat juga diizinkan untuk memegang beberapa jabatan dan memilih pemimpin mereka sendiri.
Ketika orang-orang roma mulai menaklukkan Negara-negara lain, rakyat yang baru ditaklukkan diizinkan untuk menjadi warga Negara roma dan mengambil bagian dalam praktek demokrasi ini. Namun, dalam kenyataannya itu tidak pernah terjadi. Wilayah taklukan romawi sangat luas. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin warga Negara taklukkan ini bias mempengaruhi pemerintahan yang berpusat di roma. Gagasan untuk memilih para wakil dari daerah-daerah taklukan keibukota romawi. Dalam kenyataan tidak pernah terjadi.
Pada abad terakhir SM lembaga-lembagademokrasi republic romawi dihancurkan oleh para pejabat yang korup dan prajurut yang haus kekuasaan. Republic ini diganti oleh kaisar yang sewenang-wenang. Selama 600 tahun berikutnya, demokrasi benar-benar hilang.
Demokrasi muncul kembali di eropa utara sekitar 600 tahun setelah masehi. Untuk menangani perselisihan dan membahas peraturan bagi komunitasnya, kaum Viking memanggil majlis yang di sebut thing untuk bersidang, mereka menganggap satu sama lain sederajat.
Sekitar tahun 930 M, kaum Viking di islandia membentuk althing, yaitu sebuah majlis untuk seluruh kepilaun. Majlis ini bertahan selama lebih dari 3abad. Selama 500 tahun berikutnya, anggota majlis regional dan nasional serupa munjul di skandinavia. Badan-badan serupa juga munjul di belgia, belanda, Luxemburg, dan inggris.
Berkembang pesatnya industry dan perdagangan memunjulkan kelas bisnis baru dan kaya. Para penguasa Negara yaitu ratu/raja, seringkali sangat membutuhkan uang. Abad berganti abad, para penguasa ini membentuk majelis yang terdiri dari orang-orang kaya dan berpengaruh. Dengan demikian raja bukan satu-satunya lagi orang yang menentukan berjalanya Negara. Ini dilakukan untuk menghindari pertentangan yang keras dari kaum kaya yang dari hari ke hari semakin disegani dalam masyarakat. Orang-orang ini kemudian akan memutuskan bagaimana menata dan mengatur sesuai dengan kepentinagn mereka dan kepentingan raja/ratu. Pada tahun-tahu awal, majelis semajam ini hanya mewakili sekelompok kecil masyarakat, namun selama abad-abad berikutnya semakin banyak orang yang diberi kesempatan untuk mengambil bagian.
Yang paling terkenal dari semua majelis ini, dan yang paling mempengaruhi perkembangan demokrasi, adalah perlemen inggris. Perlemen ini menganut system dua kamar atau two houses. Kaum bangsawan kaya(nobles) yang berpengaruh duduk di perlemen yang disebut majles tinggi. Mereka ini adalah penasehat raja/ratu. Para wakil dari kelas menengah yang memiliki kekayaan dipilih oleh rakyat dan duduk dalam majelis rendah, yang dalam waktu yang singkat menjadi berpengaruh daripada majelis tinggi.
Kedua majlis ini baik secara terpisah maupun bersama-sama, berhasil membatasi kekuasaan raja/ratu, sampai akhirnya tercapai apa yang disebuat perimbangan dan pembagian kekuasaan. Secara garis besar bias dikatakan perlemen membuat undang-undang baru(fungsi legislative) dan raja/ratu melaksanakan undang-undang tersebut(fungsi eksekutif). Hakim-hakim yang mandiri menafsirkan hokum-hukum apabila diperlukan(fungsi yudikatif). Masing-masing dari ketiga lembaga kekuasaan ini mengecek dua yang lain.
System ini dibentuk tidak sebagai jawaban terhadap tuntutan rakyat akan demokrasi, melainkan ajang berbagi kekuasaan di antara berbagai kelompok kelas atas dalam masyarakat. Meski demikian mereka juga ingin menuntut keterwakilan rakyat dalam perlemen dan lebih lanjut membatasi kekuasaan raja yang hanya mewakili dirinya sendiri saja akan bangga menyebut diri mereka sebagai pejuang demokrasi yang lebih besar. Gagasan ini selanjutnya di perkuat oleh munculnya protetantisme. Dalam pandangan beberapa kaun protestan, kalau semua masyarakat sama di mata tuhan, maka mestinya semua manusia juga memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam melatih dan menjalankanm pemerintahan.
Di inggris dua prose ini(perlemen dan protestantisme) munvul pada abad ke-17. Raja yang kers kepala Charles I, berusaha mengurangi kekuasaan perlemen dan menjerumuskan Negara kedalam perang saudara yang dibanyarnya sendiri dengan tahta dan hidupnya. Ia dipenggal pada tahun 1649. Dalam prose situ, gagasan demokrasi yang melibatkan seluruh rakyat mendapatkan dukungan yang luar biasa besarnya.
Sebuah kelompok unik yang disebut leveler membuat usulan-usulan yang mengejutkan. Mereka mengemukakan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk memilih pada pemilihan umum tahunan, bahwa mereka yang terpilih harus melaksanakan amanat rakyat, bukan mengikuti kehendak sendiri, dan bahwa anggota perlemen seharusnya hanya menjabat paling banyak dua priode. Usulan-usulan ini, meskipun barang kali sangat muluk, sangat sesuai dengan semangat demokrasi yunani kuno yang sudah lama hilang.[5]
Kaum leveler gagal, dan monarki kembali pada tahun 1660. Perjanjian baru antara perlemen denganmonarki, yang disebut glorious revolution 1688, denagn efektif menutup peluang rakyat jelata dalam proses politik. P-ada saat itu banyak Negara yang telah memiliki perlemen atau majlis, tetapai sama dengan di inggris, sedikit sekali warga Negara yang diperbolehkan memilih. Semua majlis ini tidak memiliki kekuasaan yang nyata, atau seluruhnya terdiri dari orang-orang kaya dan memiliki hak istimewa.
Kedua revulusi ini terjadi sebagai reaksi terhadap tirani. Keduaanya menuntut hak rakyat untuk memilih pemerintah atau penguasayang mereka kehendaki. Orang-orang amerika yang dijajah, yang merasa bahwa mereka membanyar pajak kepada sebuah Negara namun tidak dilibatkan dalam penentuannya, menciptakan selogan tidak ada pajak tanpa perwakilan. Deklarasi kemerdekaan yang mereka tanda tangani pada tahun 1776 menekankan bahwa pemerintahan hanya bias memberikan kekuasaan dengan persetujuan dari pihak yang diperintahkan. Di perancis deklarasi hak-hak memproklamasikan bahwa sumber semua kedaulatan ada ditangan rakyat. Untuk ukuran waktu itu, deklarasi-deklarasi ini benar-benar merupakan revolusi demokratis.
Setelah menghapus system pemerintahan senelumnya, kaum revolution merancang perwakilan, dimana rakyat memilih beberapa orang untuk menjadi wakil mereka di majelis yang baru.
Pelaksanaan demokrasi perwakilan ini tidak bias dielakkan . namun, beberapa pemikir politik masih merasa kuatir bahwa demokrasi ini akan rusak dalam prosesnya.
Para pemikir inggris paine dan mill menganjurkan agar pemilihan umum diadakan sesering mungkin untuk mencegah para wakil lipa terhadap rakyatnya. Paine dan mill mengemukakan apabila wakil tersebut ingin dipilih lagi maka harus mendengar apa yang disuruhkan para pemilihnya. Sam aseperti kaum leveler, keduanya percaya masa jabatan para wakil harus terbatas.
Para pemikir lainnya, tidak setuju dengan pained an mill. Burke dan Hamilton menyukai kenyataan bahwa demokrasi perwakilan menjembatani pemerintah yang cerdas dan rakyat yang bodoh, bahkan demokrasi perwakilan memungkinkan para wakil yang terdidik dan cerdas bias membuat keputusan yang bijak dan tepat daripada rakyat yang bodoh.
Ketegangan antara dua kelompok ini berlangsung sampai hari ini. Kelompok yang sat uterus memdorong terbentuknya demokrasi yang lebih besar: yang satu lagi berjuan untuk mempraktikkan demokrasi dengan menerapkan batasan-batasan tertentu yang bias dipahami. Umumnya bias dikatakan bahwa pandangan orang-orang yang menginginkan lebih banyak pengaruh rakyat dalam pembuatan keputusan dan lebih banyak tanggungjawab demokratis, tegangan waktu ini terlalu lama. Masa jabatan wakil jarang dibatasi, kecuali untuk presiden amerika serikat, yang sejak tahu 1951 hanya diizinkan memegang dua kali masa jabatan.
C. Demokrasi Semu Amerika Serikat
Kemenangan Bush untuk yang kedua kalinya dalam pemilu Amerika Serikat sekali lagi membuktikan dilema demokrasi. Betapa demokrasi telah melegitimasi seorang pemimpin yang sarat dengan agenda perang dan pembunuhan. Dan sayang sekali, opini masyarakat dunia tidak menjadi pertimbangan utama masyarakat Amerika untuk memilih pemimpin mereka, padahal yang sungguh-sungguh mengalami dampak negatif dari kepemimpinan presiden Bush adalah masyarakat dunia, bukan masyarakat Amerika semata.
Beberapa keputusan politik Bush yang menentukan, telah sedemikian meresahkan warga dunia, terutama karena keputusan-keputusan tersebut kerapkali jauh dari semangat rasionalisasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Bush seringkali hanya mendasarkan keputusannya syakwasangka dan petunjuk-petunjuk mistis masa lalu yang tidak berdasar. Mengapa serangan Bush ke Iraq dan ke negara manapun dalam rangka demokratisasi harus ditolak, serangan itu tidak hanya rapuh pada tataran teoritis, melainkan juga rapuh pada tataran praksis. Mendekati pemilu demokratis Iraq Januari 2005, intensitas pertumpahan darah terus meningkat kian hari.
Tentu tidak terbayangkan bagaimana sebuah pemilu “demokratis” bisa berjalan di tengah ancaman kemanan yang begitu nyata. Pertama, pada tataran teoritis, demokrasi sama sekali tidak identik dengan revolusi dan pertumpahan darah, melainkan ia merupakan mekanisme perebutan kekuasaan dengan sebuah kesadaran yang serasional mungkin.
Kudeta, pertumpahan darah, maupun revolusi tidak bisa menjadi instrumen demokrasi, karena hakikat demokrasi selalu mengandaikan sebuah proses panjang. Kalau ia dipaksakan terlalu dini, maka suasana demokratis tidak akan tercipta, yang munculmalah ketegangan berkepanjangan, dan itu sama sekali tidak kondusif bagi demokrasi. Salah satu penyebab gelombang demokrasi, yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga, adalah intervensi Amerika Serikat. Pertanyaan yang pertama untuk teori di atas adalah intervensi macam apa yang bisa mengubah sebuah masyarakat menuju era demokratis?
Dan akan semakin muncul lebih banyak pertanyaan, ketika negara yang diintervensi tersebut adalah negara-negara Muslim. Amerika, terlepas dari kesungguhan intervensi untuk demokratisasinya, terlanjur membwa kesan negatif bagi kalangan Muslim, maupun dunia ketiga pada umumnya. Dengan demikian, intervensi apapun dari Amerika Serikat, apalagi menggunakan kekuatan militer, tidak akan pernah efektif, ia akan menjadi musuh bersama baik yang pro perubahan maupun yang kontra perubahan.Kedua, pada tataran fakta, kasus Iraq menjadi contoh populer saat ini, Amerika Serikat ternyata sampai saat ini belum mampu mewujudkan mimpi demokrasi di Iraq yang ia intervensi dengan menggunakan senjata.
Bush membayangkan bahwa dengan menggulingkan Saddam Husein, rakyat Iraq akan serta merta menyambutnya sebagai kemenangan demokrasi. Tapi lambat laun impian itu semakin jauh panggang dari api. Perlawanan demi perlawanan demikian subur seperti jamur di musim hujan. Impian baru Bush dan para serdadunya, bahwa menaklukkan kota fallujah akan mengakhiri semangat para pejuang Muslim di Iraq, tentu juga akan jauh dari kenyataan. Sebab perlawanan tidak hanya di Fallujah, tapi juga di Samarra, Tikrit, Najaf, Baghdad sendiri, dan di semua wilayah Iraq. Barangkali Fallujah akan jatuh, tapi perlawanan itu akan terus berkobar.
Serdadu Amerika Serikat dan sekutunya akan menggunakan segala kecanggihan persenjataan melawan gelombang perlawanan dari serdadu-serdadu yang tidak jelas, sebab mereka berasal dari seantero dunia. Iraq menjadi surga bagi mereka yang hobbi perang suci. Tak akan pernah berakhir, sebab tidak akan ada yang pernah benar-benar kalah. Lalu kita sama termangu, benarkah senjata adalah solusi?
Fareed Zakaria, dalam buku The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, telah mewanti-wanti bahwa sangat tidak bijak memaksakn demokrasi ke negara-negara Islam, dan dunia ketiga yang lain, di mana fondasi struktural pendukung demokrasi tidak terbangun dengan kuat. Kalau demokrasi dipaksakan pada kondisi rapuh seperti itu, maka yang tercipta adalah demokrasi illiberal, di mana demokrasi hanya bermakna prosedural, yaitu adanya pemilu berkala, tapi unsur-unsur kebebasan sipil, kebebasan beragama, berpendapat, berkumpul, penjagaan hak privasi, kepemilikan pribadi, kebebasan malakukan perjalanan, kebebasan berniaga, dan seterusnya tidak ada. Pada titik tertentu, demokrasi malah akan memicu kerusuhan sosial.
Sebab demokrasi membuka kesempatan sepenuh-penuhnya bagi golongan non-demokratis untuk eksis di dunia publik. Masyarakat yang kurang cerdas akan sangat mudah dimobilisasi untuk melegitimasi sebuah kekuatan politik, yang sekalipun kekuatan itu membawa agenda-agenda non-demokratis.Barangkali tidak perlu terlalu jauh mengambil contoh, Amerika Serikat, kampium demokrasi dunia, baru saja melakukan pesta demokrasi yang disorot oleh seluruh penjuru dunia. Sangat tidak diragukan, bahwa proses pemungutan suara di A.S. sangat demokratis. Tapi banyak orang menjadi terbelalak, sebab ternyata prosedur demokratis belum tentu melahirkan hasil yang demokratis. Agenda Bush yang bertentangan dengan prinsip kebebasan dan demokrasi, seperti penolakan aborsi dan kawin sesama jenis, juga agenda serangan militer kepada beberapa negara tanpa alasan yang kuat, ternyata menjadi pilihan masyarakat “demokratis” Amerika. Maka demikianlah demokrasi, ia menyimpan ambivalensi di tubuhnya.
Kalau masyarakat serasional Amerika saja bisa memilih yang tidak demokratis dalam proses demokratis, apatah lagi di sebuah negara yang tidak memiliki basis masyarakat rasional, karena sekian lama hidup dalam keterpurukan ekonomi? Bush betul telah menumbangkan sang diktator ulung, Saddam Husein, tapi pada saat yang sama ia telah melakukan pembibitan diktator-diktator baru yang sama ganasnya dan lebih banyak. Tawaran yang diajukan oleh Fareed Zakaria adalah menunda pemilu untuk menyiapkan basic struktur yang kuat, berupa segala perangkat kebebasan konstitusional, bagi tegaknya demokrasi yang genuin, demokrasi liberal.Tapi alangkah tidak arifnya kalau kemudian mengangankan Saddam berkuasa kembali di Irak untuk menyiapkan segala perangkat tersebut.
Maka yang pertama kali harus dilakukan oleh tentara Asing A.S. dan sekutunya adalah segera angkat kaki dari Irak. Sebab kehadiran mereka menjadi legitimasi kelompok perlawanan Irak untuk terus melancarkan teror dan aksi bersenjata, yang hal itu cenderung mendapat legitimasi warga sipil. Dengan demikian, pemerintah transisional akan memperoleh jalan bagi rekonsiliasi nasional dan proses stabilisasi keamanan dengan meminimalisir penggunaan senjata. Legitimasi yang sangat minim kepada pemerintah transisional juga menjadi salah satu pemicu kerusuhan. Oleh karenanya, percepatan pemilu awal nampaknya juga harus menjadi prioritas. Sebab akan lebih mudah melakukan konsolidasi demokrasi di bawah kekuasaan dengan legitimasi yang tinggi, dibanding di bawah pemerintahan boneka buatan Amerika Serikat.
.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demokrasi adalah bagaimana menghormati pendapat oranglain, mendengarkan mereka, tidak berperasangka tentang kemunafikan, jangan menghukum mereka atau memfitnah mereka secara tak semena-mena, meskipun ia seorang penghianat besar. Demorasi adalah bagaimana seseorang mengakui kemungkinan kesalahan atas diri sendiri.
Kata ‘demokrasi’ berasal dari kata Yunani ‘demos’ yang berarti ‘people’ (rakyat, orang-orang, kelompok orang), lalu ‘kratein’ yang berati ‘to rule’ (memerintah). Permulaan model dan penerapan demokrasi murni tidak ditemukan di negeri manapun selain Yunani di abad ke 6 Sebelum Masehi. Jadi, arti sebenarnya dari demokrasi adalah “rule by the people”.
Budaya demokrasi sesungguhnya sudah berkembang sejak zaman purba, yaitu pada zaman berburu.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Tri Purwanto, Membangun Wawasan Kemerdekaan, Platinum, Solo, 2010.
H. Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Paradigma,Yogyakarta 2007.
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, LKiS, Yogyakarta, 2011.
http://wikipedia.com
http://updaterus.com
No comments:
Post a Comment