Tuesday, February 5, 2013

Makalah Qur"an Hadits


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            
             Al-Qur an merupakan sumber dari berbagai macam ilmu pengetahuan. Manusia yang oleh Alloh dikaruniai akal budi, yang denganya manusia berbeda dengan makhluk ciptaan yang lain. Dengan akal budi manusia diberi kesempatan untuk berfikir menelaah ilmu Allah baik yang ada di alam raya maupun yang tertulis di dalam Al-Qur’an. Pesan-pesan yang terkandung di dalmnya merupakan pesan moral yang luhur, akan sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi.
          
             Pemikiran Barat sekarang ini berada di tengah-tengah peperangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hampir tidak mungkin pemikir Barat sekarang ini menerima kenyataan bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan.
           
             Membicarakan persoalan agama dan ilmu pengetahuan dengan pemikir Barat, dia benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang yang berilmu. Selain kita harus mengetahui dan memahami nilai dan pengetahuan yang terkandung didalam Al-Qur’an, umat Muslim pun harus mengetahui bagaimana perkembangan Al-Qur’an, agar kita dapat mengetahui bagaimana Al-Quran terbentuk yang seperti umat Muslim miliki sekarang, karena Al-Quran diturunkan tidak langsung seperti yang kita lihat sekarang melainkan melalui proses yang cukup panjang.


B.     Rumusan Masalah

Adapun rumusan  masalah yang  penulis angkat dalam makalah ini adalah  sebagai berikut:
a.       Apa pengertian dari Al-Qur’an ?
b.      Bagaimana perkembangan Al-Qur’an di masa para sahabat  Nabi ?
c.       Bagaimana Al-Qur’an dapat terbentuk seperti sekarang ?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Al-Qur’an

Di dalam Pengertian Al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu secara bahasa dan secara istilah. Secara bahasa, Al-Qur’an ialah bacaan atau yang sibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu  Maqru = yang dibaca. Ada ulama yang mengatakan bahwa Al-Qur’an jika dibaca “Qur’an” dengan tidak memakai al di depannya, adalah  nama bagi segala yang dibaca. Apabila disebut Al-Qur’an, maka tertujulah kepada Kalamullah yang diturunkan dalam bahasa Arab.[1]
Kemudian apabila pengertian-pengertian kata “Qur’an” ditinjau lebih jauh maka terdapat lima pendapat :
a.       As-Syafi’y berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan diambil dari suatu kalimat lain tidak diambil dari qara’tu = aku telah membaca. Kata itu adalah istilah resmi bagi Kalamullah  yang diturunkan kepada Nabi Muhammad . As-Syafi’y juga berpendapat bahawa bahwa kita harus membaca Al-Qur’an dengan tidak menyembunyikan(‘a).
b.      Al-Asy-ary berpendapat Quran diambil dari lafad qarana yang artinya adalah menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
c.       Al-Farra’ berpendapat lafad Quran itu diambil dari qara’in (qarinah-qarinah), mengingat bahwa Al-Qur’an satu sama lainnya saling melengkapi dan membenarkan.
d.      Al-Lihyany berpendapat bahwa lafad Qur’an itu bermakna kata yang dibaca. Pendapat yang lain mengatakan, kenapa Al-Qu’an dinamai “Al-Qur’an”, karena Al-Qur’an itu dibaca, maka dia dinamakan Al-Qur’an.[2]
e.       Az-Zajjah berpendapat bahwa Qur’an itu sewazan dengan fu’lan. Oleh karena itu Qur’an harus dibaca dengan bunyi Qur’an. Ia juga berpendapat bahwa Qur’an diambil dari kata qar’i yang berarti mengumpulkan.

Al-Qur’an menurut istilah adalah Kalamullah (wahyu Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang telah disampaikan kepada umatnya melalui jalan mutawattir[3], yang dihukum kafir bagi orang yang mengingkarinya. Selain itu, banyak pula para ahli yang berpendapat tentang Al-Qur’an menurut istilah,

a.      Menurut Manna’ Al-Qaththan Al-Qur’an adalah “kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan mendapatkan pahala bagi orang yang membacanya.”
b.      Menurut Al-Jurjani Al-Qur’an merupakan hal “yang diturunkan kepada Rosulullah, yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawattir dengan tanpa keraguan.”
c.       Menurut Abu Syahbah, Al-Qur’an ialah “Kitab Allah yang diturunkan-baik lafadz maupun maknanya-kepada Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawattir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad), yang ditulis pada mushaf dari mulai surat Al-Fatihah{1} sampai surat An-Nas{114}.”[4]
d.      Pakar Usul Fiqih dan Bahasa Arab berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya Muhammad, yang lafadz-lafadz nya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, yang diturunkan secara mutawattir, dan yang ditulis pada mushaf, dari mulai surat Al-Fatihah{1} sampai surat An-Nas{114}.”


PENURUNAN AL-QUR’AN
           
Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.[5]
Menurut Al-Zarqani dalam manahil Al-irfan berpendapat bahwa proses turunnya Al-Quran terdiri atas tiga tahapan:
1. Al-Quran turun secara sekaligus dari Alloh Ke Lauh Al-Mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Alloh, Q.S. Al-buruj ayat 21-22:
“Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfuzh” (QS.Al-Buruj : 21-22).

2. Al-Quran diturunkan dari Lauh Al-Mahfuzh ke Bait Al-izzah( tampat yang berada di langit dunia), sebagaimana firman Alloh dalam surat Al-Qadar ayat 1:

”Sesungguhnya Kami telah menurunkan-nya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”

3. Al-Quran diturunkan dari Bait Al-Izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diisyaratjkan dalam Q.S. Asy-Syuaro ayat 193-195:[6]
“Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”[7]

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

           Al-Kitab QS(2:2),QS (44:2)
           Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
           Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
           Al-Mau'idhah (pelajaran/nasihat): QS(10:57)
           Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
           Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
           Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
           Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
           At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
           Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
           Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
           Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
           Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
           Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
           An-Nur (cahaya): QS(4:174)
           Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
           Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
           Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.[8]





B.   Perkembanagan Al-Qur’an Pada masa Khulafa’Al-Rasyidin

1.      Pada masa Abu Bakar

            Pada dasarnya, Al-Qur’an telah ditulis ketika zaman Nabi Muhammad SAW, hanya saja pada saat itu surat dan ayat-ayat ditulis dengan terpencar-pencar, ada yang di pelepah kurma, tulang unta, batu halus, kulit, dan sebagainya. Disamping itu perencanaan pengumpulan ayat suci Al-Qur’an disebabkan karena gugurnya para penghafal Al-Qur’an disaat perang Yamamah. Saat perang tersebut 700 Qari’ penghafal Al-Qur’an gugur di medan perang. Khawatir akan semakin hilangnya para penghafal Al-Qur’an, Umar datang menemui Abu Bakar, dan mendesak Abu Bakar supaya segera mengintruksiakan pengumpulan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik secara lisan, maupun tulisan.[9]
            Setelah peristiwa peperangan Yamamah, Zaid ibn Tsabit diminta untuk menemui Abu Bakar. Pada saat itu Abu Bakar berkata : “Umar datang kepadaku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah berlangsung sengit dan membuat sekitar 700 penghafal Al-Qur’an Syahid di peperangan itu, Aku memandang bahwa harus diadakannya pengumpulan Al-Qur’an”
            Setelah itu, Zaid ibn Tsabit menjelaskan tentang keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar, karena ia lah yang mempunyai usul tentang pengumpulan Al-Qur’an, “Bagaimana kita melakuakan sesuatu yang tak dilakukan Rosulullah?” Umar lalu menjawab,”Demi Allah ini sesuatu yang baik”. Ketika umar belum menyelesaikan kaliamatnya, Allah telah membukakan hati Zaid tentang perlunya pengumpulan Al-Qur’an.[10]
            Pekerjaan yang dibebankan kepada Zaid ibn Tsabit dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H, dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan sahabat sahabat lainnya.[11]
            Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, suhuf-suhuf[12] Al-Qur’an tersebut dinamakan “mushaf”.[13] Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Asytah dalam kitab Al-Mashahif.  
2.      Pada Masa Umar

Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf itu dipegang oleh Umar. Menurut suatu riwayat, Zaid ibn Tsabit menyempurnakan pen-tadzwid-dan suhuf di masa Abu Bakar sendiri. Dan nyata pula dari berbagai riwayat bahwa yang menyimpan suhuf itu ialah khalifah. Pada awalnya disimpan di Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Hafsah. “Timbul pertanyaan, mengapa tidak disimpan di Utsman sebagai khalifah?”, hal itu disebabkan karena :

a.       Hafsah itu Istri Rosul dan anak dari Abu Bakar
b.      Hafsah itu seorang yang pandai menulis dan membaca.
Abu Bakar dan Umar tidak menyuruh menyalin banyak karena suhuf-suhuf yang telah ditulis dimaksudkan menjadi orisinilnya saja, bukan untuk dipergunakan oleh orang-orang yang hendak menghafalnya. Para sahabat yang telah belajar Al-Qur’an pada masa Nabi, masih hidup dan para pelajar Al-Qur’an yang mengajar secara hafalan pun masih banyak.[14]
3.      Pada Masa Utsman

            Setelah beberapa tahun berlalu, timbul lah usaha dari para sahabat untuk meninjau kembali suhuf suhuf yang telah ditulis oleh Zaid ibn Tsabit. Diriwayatkan oleh Bukhari, Hudzaifah ibn Al-Yaman datang kepada Utsman karena dia melihat dan memperhatikan tentang hebatnya perselisihan dalam masalah qira’at(cara membaca Al-Qur’an). Hudzaifah meminta kepada Utsman untuk menyelesaikan permasalahan itu, agar perselisihan dan perbedaan faham tentang qira’at tidak berkepanjangan, dan agar umat Islam tidak berselisih tentang kitab mereka.
            Setelah mendapat permintaan dari Hudzaifah, lalu Utsman menemui Hafshah dan meminta untuk memberikan shuhuf-shuhuf yang ada padanya untuk disalin menjadi beberapa mushaf. Setelah shuhuf-shuhuf tersebut ada ditangan Utsman, lalu beliau menyuruh Zaid ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Zaid Ibn Ash, Abd ar-Rahman Ibn Harits Ibn Hisyam untuk menyalin kembali shuhuf-shuhuf menjadi sebuah mushaf.[15]
            Setelah mereka menyelesaikan pekerjaan tersebut, shuhuf-shuhuf tersebut dikembalikan kepada Hafshah. Kemudian Utsman mengirim mushaf ke tiap-tiap kota besar, masing masing kota mendapat satu mushaf yang telah di refisi tersebut, serta memerintahkan untuk membakar semua mushaf-mushaf selain mushaf yang telah disalin tadi. Utsman melakukan hal tersebut, agar terciptanya keseragaman tentang pembacaan Al-Qur’an, dan tidak terjadi perselisihan hanya karena perbedaan dialek.[16]
            Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
            Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al-Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik”.[17]
            Satu prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal- harus dijadikan pilihan. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (absah) Al-Quran, yang sering juga disebut mushaf ‘Utsmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat- pusat utama daerah Islam.
            Pada masa sahabat Nabi ada yang beranggapan bahwa menulis Al-Qur’an itu bid’ah. Pernyataan tersebut salah, menulis Al-Qur’an itu tidaklah bid’ah, karena Nabi Muhammad SAW telah menyuruh menulisnya, walaupun di masa itu ditulis di pelepah kurma, tulang belulang dan kulit binatang. Abu Bakar hanya menyuruh menyalin tulisan Al-Qur’an yang ada di tulang tulang tersebut ke dalam kertas, jadi apa yang dilakukan Abu Bakar bukanlah bid’ah.
            Apabila disimpulakan, tujuan Utsman menyalin kembali Al-Qur’an adalah :
a.       Mempersatukan dan menyeragamkan tulisan dan ejaan Al-Qur'an bagi seluruh umat islam berdasarkan cara pembacaan yang diajarkan oleh Rasulullah dengan jalan mutawatir.
b.      Supaya umat islam berpegang pada mushaf yang disusun dengan sempurna atas dasar tuntunan Rasulullah.
c.       Mempersatukan urutan susunan surat-surat Al-Qur'an sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah yang diterima secara mutawattir.

Perbedaan penulisan Al-Qur'an pada masa Abu Bakar dan pada masa Utsman :

a.Pada masa Abu Bakar

1.Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur'an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur'an pada perang yamamah.
2.Abu Bakar melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur'an yang terpencar-pencar pada pelepa kurma, kulit, tulang, lempengan batu dan sebagainya.

c.Pada masa Utsman bin Affan

1.Motivasi penulisannya karena terjadi banyak perselisihan di antara umat islam di dalam cara membaca Al-Qur'an
2.Utsman melakukannya dengan cara memperbanyak salinan mushaf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakra untuk dikirimkan ke berbagai wilayah islam.[18]


C.   Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

Terjemahan

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.  Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
2.  Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
3.  An-Nur, oleh Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
4.  Al-Furqan, oleh A. Hassan guru Persatuan Islam

Terjemahan dalam bahasa Inggris antara lain:
1.  The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
2.  The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall

Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
1.  Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
2.  Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
3.  Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
4.  Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
5.  Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad  
6.  Al-Amin (bahasa Sunda)
7.  Terjemahan Al-Qur'an dalam bahasa Bugis (huruf lontara), oleh KH Abdul Muin Yusuf (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap Sulsel).[19]
           
   










BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan masalah di bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa  Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Al-Qur’an merupakan Kalamullah (wahyu Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril yang telah disampaikan kepada umatnya melalui jalan mutawattir , yang dihukum kafir bagi orang yang mengingkarinya. Al-Qur’an menjadi pedoman hidup bagi seluruh Ummat Muslim di Dunia.
Al- Qur’an tidak langsung menjadi seperti yang kita lihat sekarang, melainkan tulisan-tulisan yang terpisah-pisah, di pelepah kurma, tulang belulang, batu halus, dan kulit binatang. Adanya Khulafa’ar-Rasyidin lah yang memperjuangkan tentang pembukuan dan pengumpulan Al-Qur’an, juga dibantu oleh para sahabat-sahabat lain pada saat itu. Prosaes penghimpunan Al-Qur’an tidak dalam waktu singkat, karena banyaknya persoalan setelah adanya rencana penghimpunan Al-Qur’an. Namun atas kehendak dan Kekuasaan Allah, Al-Qur’an dapat terjaga dan terlindungi sampai ahir zaman ini.


DAFTAR PUSTAKA

Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizky Putra, Semarang, 2011.
Prof. Dr. Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2010.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Jakarta, 2001.
http://makalahpelajaran.blogspot.com



[1] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizky Putra, Semarang, 2011, hlm 3.   
[2] Ibid.hlm 4
[3] Disampaikan oleh sejumlah periwayat yang terpercaya, dan mustahil apabila mereka     berkumpul dan berdusta.
[4] Prof. Dr. Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm 33
[5] http://id.wikipedia.org (diakses : 20 September 2012)
[6] http://makalahpelajaran.blogspot.com (diakses : 20 September 2012)
[7] Ibid.
[8]   http://id.wikipedia.org (diakses : 20 September 2012)
[9] Prof. Dr. Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm. 40
[10] Ibid.hlm. 41
[11] Ibid.
[12] wahyu Allah yang disampaikan kepada rasul, tetapi masih berupa lembaran-lembaran yang terpisah.
[13] lembaran-lembaran tulisan al-Quran yang dikumpulkan pada masa Khalifah Abu Bakar
[14]Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizky Putra, Semarang, 2011, hlm.74
[15] Teungku M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizky Putra, Semarang, 2011, hlm. 79.
[16] variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berbeda dari satu tempat wilayah atau area tertentu (menurut Abdul Chaer).
[17] http://id.wikipedia.org (diakses : 20 September 2012).
[19] http://id.wikipedia.org (diakses : 20 September 2012).

No comments:

Post a Comment